Pemikiran Pendidikan
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu : Mahfudz Junaidi
Ismi
Nur Lailil M. (1403036075)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014/2015
I.
PENDAHULUAN
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang
mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai
penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam
al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan
tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia
seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang
sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Syekh
Abdul Qodir Al-Jailani merupakan sosok ulama yang berpengaruh dalam dunia
tasawuf. Nasihat dan ajarannya selalu menjadi rujukan bagi orang-orang yang
mendamba menjadi kekasih Alloh. Tak aneh jika beliau dikenal sebagai dai, guru,
pembeharu, dan pemimpin para sufi.[1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana
Biografi Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?
B. Bagaimana
Pemikiran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?
C. Bagaimana
Konsep Pendidikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?
D. Bagaimana
Tujuan Pendidikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?
III.
PEMBAHASAN
A. Biografi Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Nama lengkap Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani adalah Syekh Muhiyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu
Shalih Musa Janki Dusat bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan
al-Mutsanna bin Amirul Mu’minin Abu Hasan bin Amirul Mu’minin Ali bin Ali r.a
bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Nadhar
bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Madhar bin Nadzaar bin
Ma’ad bin ‘Adann Al-Qurasyi Al-Alawi Al-Hasani Al-Jiili Al-Hambali.[2]
Ibunya Syarifah Fatimah
binti Sayid Abdullah Ash-Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayid
Thahir bin Sayid Abi al-Atha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudin
Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far
ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid
al-Husain bin Sayid Ali bin Abi Thalib r.a. [3]
Ibu beliau Fatimah
binti Sayid Abdullah meriwayatkan bahwa, “Setelah lahir, anakku Abdul Qodir
tidak mau menyusu saat bulan Ramadhan. Oleh karena itu, jika orang-orang tidak
dapat melihat hilal penentuan bulan Ramadhan, mereka mendatangiku dan
menanyakan hal tersebut kepadaku. Jika aku menjawab; “Hari ini anakku tidak
menyusui”, maka orang-orang pun mengerti bahwa bulan Ramadhan telah tiba.
“Bahwa beliau bayi yang tidak menyusu pada bulan Ramadhan adalah sesuatu yang
masyhur di Jilan. Dan beliau mengandung saat berusia 60 tahun.[4]
Beliau adalah cucu dari Syaikh Abdullah Ash-Shauma’i,
pemimpin para zuhaad dan salah seorang syaikh kota Jilan serta yang dianugerahi
berbagai karomah. Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal,
seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1
Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya
sudah tampak di masa bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan
Ramadhan. Ia di didik dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab
dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba
sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asyik
dan hampir lupa akan kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di
usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat
istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan
selebihnya puteri.[5]
Syekh Abdul Qodir
Al-Jailani dan fisiknya beliau cenderung tinggi, tampak pada dirinya kemurahan
hati dan istiqomah, dahinya lebar, kulitnya berwarna cokelat, rambutnya terurai
sampai pundak, anggota tubuhnya harmonis, pandangannya yang tajam, tebal janggutnya
sedang namun terurai panjang dan warnanya keabu-abuan, nyaring dan terdengar
indah suaranya, memiliki pelafalan yang istimewa. Penampilan umumnya
menunjukkan kesederhanaan yang menarik sebagaimana menunjukkan kebaikan, murah
hati dan keindahan.[6]
Syekh Abdul Qodir
Al-Jailani mengatakan kepada para pengikutnya bahwa dia masuk ke Baghdad dalam
usia 18 tahun, dan pada tahun yang sama Abu Fadhl Abdul Wahid Al-Tamimi wafat
yakni pada 488 H. Bagaimanapun pendapat yang paling shohih tentang kelahiran
dan kewafatan Al-Jailani adalah yang diterangkan oleh Ibn Al-Jauzi bahwa
Al-Jailani wafat pada malam Sabtu, 8 Rabi’ Al-Tsani tahun 561 H dan usiannya
mencapai 90 tahun. Ini karena Ibn Al-Jauzi termasuk seseorang yang semasa
dengan Abdul Qodir Al-Jailani.[7]
Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu
Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu
Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar
kepada para ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad
bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain
Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad
bin Muslim ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi
Abu Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s.
selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya
makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga
dinyatakan lulus belajarnya.[8]
Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia
mulai melancarkan dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun. Abu
Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Kian hari,
murid-muridnya bertambah banyak. Karena itulah, madrasahnya diperluas dan
pembangunannya selesai pada tahun 528 H. Di madrasah ini juga, al-Jailani
berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mendirikan tarekat yang dinisbatkan
kepadanya, yaitu tarekat Qadiriyyah.[9]
B. Pemikiran
Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Pemikiran
Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam
kitabnya, al-Ghunyah li Tholib al-Thoriq al-Haq mendefinisikan tasawuf
sebagai pembenaran (percaya) kepada yang Haq (Allah ) dan berperilaku baik
terhadap sesama hamba Allah swt. Dari definisi tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa aspek tasawuf bersandar pada dua hal:
1.
Hubungan seorang hamba kepada Sang Kholiq dengan
cara bersungguh-sungguh dalam mentaati segala perintah-Nya dan
bersungguh-sungguh dalam usaha menjauhi larangan-Nya.
2. Hubungan seorang hamba dengan hamba yang lain dengan
cara berperilaku yang baik dan berahlak yang terpuji.[10]
Rasulullah SAW bersabda: “Bergaullah dengan manusia dengan
perilaku yang terpuji.”
Selain definisi di
atas, beliau dalam kitabnya yang lain menjelaskan bahwa tasawuf adalah:
bertakwa kepada Allah swt, mentaati-Nya, menerapkan syariat-Nya secara dhohir,
menyelamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan,
sabar menerima penganiayaan dan kefaqiran, menjaga kehormatan para guru,
bersikap baik dengan saudara, menasehati orang kecil dan besar, meniggalkan
permu-suhan, bersikap lembut, melaksa-nakan fadlilah, menghindari menyimpan
harta benda, menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat dan
tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia. Untuk
membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak
dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut.[11]
Sesuai
dengan firman Allah:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka
(karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)[12]
C. Konsep
Pendidikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Dalam kedua kitab al Ghunyah
Li Thalibi Thariqil Haq dan Kitab Futuhul Ghaib Kedua
kitab tersebut memiliki kekhasan yang sama. Yakni metode integrasi ilmu-ilmu
keislaman. Dalam setiap pembahasan fikih misalnya selalu terkait dengan kajian
tasawwuf, dan tazkiyat al-nafs. Bahkan al-Ghazali dalam
beberapa kajian tentang akhlak, mengaitkan dengan ilmu psikologi dan kesehatan
(kedokteran). Kitab al-Ghunyah dimulai dengan makna syahadat,
kemudian diikuti dengan bab fikih – thaharah dan shalat dalam satu bab.[13]
Kekhasan kitab tersebut
mengandung tujuan metode pembelajaran, bahwa dalam mempelajari ilmu dalam Islam
tidak dikenal metode dikotomi. Semua kajian keilmuan dalam tradisi Islam
memiliki jaringan keilmuan (knowledge networking) antara satu dengan
yang lain. Yang unik juga dari kedua metode ulama’ tersebut, semua ilmu
diajarkan selalu berbasisaqa’id dan tasawwuf sunni. Untuk
mempraktikkan pemikiran pendidikannya, Syekh Abdul Qadir menerapkan dua metode.
[14]
Untuk metode pertama,
al-Jilani membangun madrasah yang dinamai Madrasah al-Qadiriyah yang selesai
pembangunannya pada tahun 528 H. Tidak jauh dari lokasi Madrash dibangun Ribath
– sebuah asrama untuk menampung para pelajar dari luar Baghdad. Ribath ini
mirip dengan asrama pondok pesantren di Indonesia. Kurikulum Madrasah Qadiriyah
disusun dengan dasar ilmu tasawwuf dan ushuluddin. Sedangkan pelajaran dasar
yang diberikan adalah penggabungan antara fikih dan tasawwuf. Tampaknya, Syeikh
al-Jilani sejak pendidikan pemula ingin, membentuk mental para ulama’ yang
memiliki cara pandang yang sama demi mencegah perpecahan antara para ulama’.
Konfrontasi antara madzhab fikih saat itu memang begitu hebat, bahkan sampai
pernah terjadi adu fisik. Maka, yang dibutuhkan umat adalah ilmuan-ilmuan yang
memiliki kemampuan memahami berbagai disiplin ilmu secara integral, agar secara
cerdas mengatasi problem keumatan.[15]
Misi yang kedua adalah,
melahirkan da’i yang kompeten melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Pelajaran
yang disiapakan untuk kader ulama’ ini adalah ilmu tentang pemikiran-pemikiran
kontemporer yang eksis saat itu. Termasuk ideologi-ideologi yang menyimpang
dari Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Tema-tema ini beliau kemukakan dalam
kitabnya al-Gunyah. Dalam kitab tersebut, Syekh al-Jilani
mensyaratkan bagi orang yang akan masuk tariqahnya; “Wajib bagi murid(pengikut
tariqah) untuk menjadikan akidah Sunni sebagai ‘sayapnya’ sebagai media dalam
bertariqah untuk sampai kepada Allah” (al-Ghunyah II, 163). Pembahasan
akidah yang dilakukan Syekh al-Jilani menunjukkan pengetahuannya yang sangat
luas tentang seluk-beluk akidah, kegiatan dan sejarah aliran-aliran tersebut.
Di antara aliran yang dikritik diantaranya Syi’ah Ghulat dan Batiniyyah.
Bahkan beliau berpendapat bahwa Syi’ah Ghulat memiliki kemiripan dengan Yahudi.
“Orang Yahudi meyakini tidak ada jihad di jalan Allah sampai al-Masih al-Dajjal
keluar dan turun dari langit. Orang-orang Rawafidh meyakini tidak ada jihad
sampai al-Mahdi keluar dan terdengar suara menyeru dari langit” tulis Syekh
al-Jilani.[16]
Pembahasan tersebut bertujuan
menjaga kemurnian akidah Islam, dari berbagai macam ideologi asing. Disamping
itu, Syekh al-Jilani juga melarang pelajar mempelajari filsafat Yunani, sebab
mengandung banyak kerancuan berpikir. Bermacamnya ideologi asing tersebut
mengancam persatuan umat, sehingga memperlemah kekuatan Islam menghadapi perang
Salib.Syekh al-Jilani juga berusaha menyudahi perselisihan-perselisihan madzhab
fikih yang sering berakhir dengan pertentangan fisik. Imam an-Nawawi dalam Bustan
al-‘Arifin mencatat keunikan Syekh al-Jilani. Disebutkan bahwa beliau
bersikap terbuka terhadap madzhab Syafi’i dan menjalin kerjasama dengan para
pengikut Hambali. Beliau bahkan berfatwa dengan dua madzhab, kepada Syafi’iyyah
ia berfatwa dengan madzhab Syafi’i, sedangkan kepada pengikut Hambali beliau
berfatwa sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
menguasai hukum-hukum dua madzhab, maka tidaklah heran beliau bisa diterima
oleh dua madzhab tersebut.[17]
Praktik
pendidikan mental ini diterapkan dalam Ribath di bawah pengawasan sorang
Syeikh. Sang guru pembimbing yang ditunjuk Al-Jilani ini mengajari teori
sekaligus praktik sehari-hari secara ketat. Sehingga, lulusan madrasah ini
betul-betul kuat. Sedikit saja perkara makruh dilakukan, langsung ditegur oleh
Syekh. Sebagaimana termaktub dalam kitab al-Gunyah, Al-Jilani
mencantumkan beberapa adab ijtima’i di antaranya; etika berpaikaian, etika
tidur, makan dan minum, hubungan dengan istri, adab kepada orang tua dan anak,
adab bepergian dan sebagainya. Semua etika ini masuk ke dalam kurikulum
pendidikan. Para pelajar selalu dikontrol oleh seorang Syekh dalam
mempraktikkan adab.[18]
Konsepsi
sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan
syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang
itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah,
ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad
saw. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah
adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya
seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.[19]
D.
Tujuan Pendidikan Syekh Abdul Qodir
Al-Jailani
Tujuan pendidikan al-Jailani adalah menjaga kemurnian
agama, mengatasi berbagai macam pertikaian madzhab dan membentuk mental kaum
muslim yang faqih, zuhud, dan sekaligus mujahid.Untuk mempraktikkan pemikiran
pendidikannya, Syekh Abdul Qadir menerapkan dua metode, pertama, membuat
pengajaran yang sistematis dan pendidikan jiwa yang sistematis, kedua, memberi
ceramah dan berdakwah kepada masyarakat umum atau muslim awam.[20]
Tujuan besarnya adalah untuk membentuk
mental pelajar atau murid-murid yang memiliki hati bersih
tanpa noda, senantiasa mengikuti jejak Nabi saw dalam cara berpikir, emosi dan
nilainya. Dan juga menekankan pada “Khablum minalloh” dan “Khablum minannas”
Pendekatan ini merupakan formulasi Syekh Abdul Qodir Al-Jailani yang menancapkan pandangan hidup Nabi Muhammad SAW, dalam
setiap aktifitas perilaku para pelajar agar menjadi pelajar yang berakhlak
mulia.[21]
IV.
PENUTUP
KESIMPULAN
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang
mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai
penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam
al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan
tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia
seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang
sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Dan dalam
pendidikan dan pemikirannya beliau mengacu dalam kedua kitab al Ghunyah
Li Thalibi Thariqil Haq dan Kitab Futuhul Ghaib Kedua
kitab tersebut memiliki kekhasan yang sama. Yakni metode integrasi ilmu-ilmu
keislaman
KATA PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat, semoga
dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan dapat memberikan suatu pemahaman
kepada pemakalah secara khususnya. Sekian dari saya apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam
penulisan makalah ini atau dalam pemahamannya, dimohon kritik dan saran yang
membangun sangat saya butuhkan. Dari saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
atas perhatian pembaca saya ucapkan terima kasih.
[1] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung:
Mizania,2009), hlm. 65
[2] Syaikh Muhammad bin Yahya
At-Tadafi, Mahkota Para Aulia,
(Jakarta: 2003, Prenada), hlm. 3
[3] Al jailani, Zaman
Kisah Hidup sultan Para Wali, (Jakarta: pustaka) hlm. 15
[4] Syaikh Muhammad bin Yahya
At-Tadafi, Mahkota Para Aulia, (Jakarta: 2003, Prenada), hlm. 4
[5] Al jailani. Zaman
Kisah Hidup sultan Para Wali, hlm 17
[7] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung:
Mizania,2009), hlm. 88
[8] Al Qahthani Said bin Musfir, Buku putih Syaikh Abdul Qodir Al Jailani,
(Jakarta: Darul Falah 2003), hlm. 416
[9] Al Qahthani Said bin Musfir, Buku putih Syaikh Abdul Qodir Al Jailani,
hlm. 417
[10] http://dainusantara.com/rajanya-para-wali-syaikh-abdul-qodir-jailani. Diakses pada tanggal 21 Juni
2015
[11] Syaikh Muhammad bin Yahya
At-Tadafi, Mahkota Para Aulia,
(Jakarta: 2003, Prenada), hlm. 13
[12] http://quran.com/
[13] http://dainusantara.com/rajanya-para-wali-syaikh-abdul-qodir-jailani/ diakses pada 21 Juni 2015
[14]
http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/
diakses pada 21 Juni 2015
[15] http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/
diakses pada 21 Juni 2015
[16]
http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/
diakses pada 21 Juni 2015
[17]
http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/
diakses pada 21 Juni 2015
[18]
http://syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/ diakses
pada 21 Juni 2015
[19] http://dainusantara.com/rajanya-para-wali-syaikh-abdul-qodir-jailani/ diakses pada 21 Juni 2015
[20] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung:
Mizania,2009), hlm. 95
[21] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung:
Mizania,2009), hlm. 97
No comments:
Post a Comment