Saturday, October 1, 2016

Islam dan Budaya Jawa Indonesia



INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM ASPEK KEPERCAYAAN DAN RITUAL

MAKALAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, MSI




Di Susun Oleh:

                                           Ismi Nur Lailil M.                   1403036075


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.         PENDAHULUAN
Agama adalah sesuatu yang dating dari Tuhan untuk menjadi pedomanbagi manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan kebahagiaan ukhrowi. Adapun kebudayaan adalah semua produk aktifitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama, dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan (dalam hal ini kecerdasan).[1]
Dalam kehidupan beragama kecenderungan untuk memodifikasi Islam dengan kebudayaan Jawa telah melahirkan bernagai macam produk beru terutama pada hasil interelasi nilai jawa dan islam pada aspek kepercayaan dan ritual.
Agama, dalam ungkapan Jawa, bagaikan ageman atau pakaian. Ruh dan ajaran agama menyatu dengan aktifitas social masyarakat. Ekspresi keberagamaan yang paling mudah dilihat bagi anak-anak adalah aktifitas ritual seperti sholat, mengaji, dan puasa. Tetapi, setelah dewasa, baru menyadari bahwa agama dan budaya itu berbeda namun saling mendukung bagaikan hubungan ruh dan tubuh. Melalui budaya dan tradisi local, ajaran agama di ekspresikan sehingga muncul apa yang disebut dengan local genius (kegeniusan local) atau local wisdom (kebijaksanaan local).[2]
II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
2.      Apa hubungan Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan?
3.      Apa hubungan Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual?
III.   PEMBAHASAN
A.    Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan pertama disebut “Islamisasi Kultur Jawa” dan pendekatan yang kedua disebut “Jawanisasi Islam”. Berikut penjelasan dari dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di Jawa.
1.      Islamisasi Kultur Jawa
Islamisasi kultur Jawa adalah proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun sub stansial. Sebagai contoh adalah slametan, slametan berasal dari Bahasa Arab Salim-yaslamu-salaman yang berarti selamat. Menurut Quraish Shihab kata salam berarti luput dari kekurangan, kerakusan, dan aib. Kata selamat di ucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada kekurangan atau kecelakaan. Menurut kami penggunaan bahasa salima  tersebut dalam istilah ritual jawa merupakan salah satu hasil dari Islamisasi kultur Jawa.[3]
Dalam banyak literatur, hal-hal yang dibahas mengenai Islamisasi di Jawa adalah tiga pertanyaan, yaitu; Siapa para pembawa Islam? Dari mana mereka berasal? Dan kapan mereka datang?.
Tentang siapa para pembawa Islam dan dari mana Islam datang, banyak buku menyebutkan bahwa para pedagang dan Gujaratlah yang membawa Agama Islam. Sedangkan mengenai kapan Islam masuk ke Jawa hamper semua sejarawan sepakat bahwa abad XV-VXII adalah rentang waktu paling ekstensif dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Secara politik De Graaf dan Pigeaud menyebut abad-abad itu sebagai masa “transisi kekuasaan” dari kekuasaan kerajaan Hindu ke kerajaan Islam.
Kehadiran Islam di Jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa) melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang baru untuk menggantikan yang lama tetapi menambahkan sesuatu kepada yang lama, sehingga Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
2.      Jawanisasi Islam
Jawanisasi Islam adalah pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam[4]. Sebagai contoh dalam tembang Jawa sebagai berikut;
Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh wikan Kabatinan akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno ojo keliru pamilihmu Lamun mardi Kebatinan”.
Yang artinya;
“Saya akhiri pembicaraan ini saya hanya ingin memberitahu Kebatinan banyak macamnya dan artinya sangat gawat. Maka dari itu, barhati-hatilah jangan kamu salah pilih kalau belajar Kebatinan”
Jika diperhatikan arti dari tembang ini adalah pesan orang tua kepada anaknya bahwa perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula dan Gusti (jumbuhing kawula Gusti/) atau pendekatan kepada yang Mahakuasa secara total dan sebenarnya dalam Islam-pun konsep ini diajarkan, yaitu tentang anjuran mempelajari ilmu tauhid.[5]
Menurut Sujatmo dalam buku karya Suwardi Endraswara, jumbuhing kawula kalawan gusti bukanlah suatu ajaran, tetapi suatu penganan. Suatu pengalaman yang benar-benar nyata bagi siapa yang pernah mengalaminya. Pengalaman ini berupa penyatuan diri dengan yang maha kuasa. Ada pula istilah lain sebagai pengganti penyatuan, yaitu peleburan. Dalam pemikiran Jawa selain jumbuhing kawula kalawan gusti, ada juga yang menyebutnya manunggaling kawula-gusti, maunggaling kawula kalawan gusti, pamoring kawula Gusti.
Melalui olah rasa, orang Jawa meyakini dapat manunggal dengan Gusti, hingga mengenal tuhan secara utuh. Pemikiran Jawa tentang tuhan dan tentang pengalaman manunggal dengan tuhan dapat diikuti dengan jelas. Menurut serat Dewaruci, tuhan itu dan kena kinangnyapa, tak dapat dilihat, tak berbentuk, tak berwarna tak dapat dipegang, hanya terletak pada yang awas, tetapi perlambanganya memenuhi alam semesta.[6]
Meski kedua pendekatan ini sering digunakan dalam menyatukan dua kebudayaan, namun juga sering terjadi beda pemahaman penilaian terhadap kedua pendekatan ini. Sebagian orang menilai kedua pendekatan ini hanya sebatas percampuran dua budaya yang bersifat lahiriyah, sehingga Islam seakan menjadi kulitnya sedangkan nilai-nilai esensialnya adalah Jawa.
Para pengamat dan peniliti telah membuktikan bahwa orang Jawa memang memiliki kepercayaan yang beragam dan campur aduk. Praktik keagamaan orang Islam banyak dipengaruhi oleh keyakinan lama: Animisme, Hindu, Budha,  kepercayaan kepada alam maupun Dinamisme. Demikian juga menurut agama lain, seperti Katolik, terlebih dalam doktrin Katolik dikenal “kontekstualisasi” yaitu semacam pempribumian ajaran-ajaran Katolik sesuai dengan konteks social budaya dimana ia disebarkan. Oleh karena itu, dalam masyarakat masih ditentukan orang-orang yang berpedoman pada primbon dan petangan dalam melakukan aktifitas tertentu.
Menurut Professor Veth, penganut Islam yang merupakan golongan terbesar di Pulau Jawa tidak seluruhnya memeluk agama ini secara murni. Veth mengklasifikasikan penganut Islam dalm empat kelompok: (1) penganut Islam yang masih memegang campuran kepercayaan Brahma dan Budha, (2) penganut Islam yang mempunyai kepercayaan magic dan dualism, (3) penganut Islam yang mempunyai animisme, (4) penganut Islam yang melaksanakan ajaran Islam secara murni. Oleh Veth, tiga kelompok yang pertama diklasifikasikan dalam penganut kejawen, dan sampai saat ini ajaran kejawen masih banyak dianut oleh orang muslim di Jawa.[7]
B.     Interelasi antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia[8], Interelasi berarti hubungan satu sama lainJadi yang dimaksud interelasi di sini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan. Agama di dalam memainkan perannya dalam masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamanya. Terdiri dari dua kelas penting, yaitu ritual dan ketaatan. Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci dan gaib itu dinamakan kepercayaan.
Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Disamping itu juga ada yang bersumber pada ajaran Budha yang ditandai dengan adanya percaya pada Tuhan (Sang Hyang Adi Budha), selain itu juga ada kepercayaan animisme dan dinamisme. Setelah kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan dengan dan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa arab menjadi fenomena Jawa. Dalam kisah Babad Tanah Jawi ditemukan elemen-elemen yang menghubungkan Islan dengan Budaya Jawa sebelumnya. Dalam kisah Babad Tanah Jawi  hubungan-hubungan tersebut sudah dijalin sejak zaman para dewa, sehingga hubungan antara Islam dan Jawa tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan orang jawa.[9]
Ketika Islam masuk ke Jawa ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, pada waktu itu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur. Dalam bidang politik antara lain di tandai dengan jatuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M, dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar di Andalusia (Spanyol) oleh tentara Arogan dan Castella pada 1492 M. Di bidang pemikiran kalau pada masa-masa sebelumnya telah muncul ulama-ulama besar di bidang hukum, teologi, filsafat, tasawuf, dan sains, pada masa ini pemikiran-pemikiran tersebut telah mengalami kemunduran. Pada masa ini telah semakin berkembang pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan kelompok-kelompok tarekat sesat semakin berkembang di kalangan umat Islam.
Kedua, sebelum kedatangan Islam di Jawa, Hindu, Budha dan Kepercayaan Asli yang berdasarkan Animisme dan Dinamisme berurut akar di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam terjadi pergumbulan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama, yang menerima Islam secara total dengan tanpa mengingat kepercayaan-kepercayaan lama. Kedua, mereka yang menerima ajaran Islam tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama. Oleh karena itu, mereka mencampur adukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama.
Seorang sejawan bernama Greetz mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kategori sebagai berikut;
1.      Santri, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala kewajiban dan meninggalkan segala laranganNya.
2.      Abangan, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namun kurang memegang teguh syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak menjalankan perintah Allah dan masih menjalankan laranganNya.
3.      Priyayi, yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi yang di muliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepas dari sikap dan cara keberagamaan mereka.
Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negative, yaitu sinkretisasi dan pencampur adukkan antara Islam di satu sisi dan dengan kepercayaan-kepercayaan lama di pihak lain, sehingga sulit di bedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan  mana yang berasal dari tradisi. Namun, aspek positifnya ajaran-ajaran yang di sinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Dan sebaliknya, ajaran-ajaran tersebut telah memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.
C.     Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu; “aliran hikmah” dan “aliran kejawen”. Aliran hikmah berembang di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber dari Al-Qur’an). Sedangkan aliran kejawen yang ada sekarang sebetulnya sudah bercampur dengan tradisi Islam.
Aliran Islam Kejawen awal mulanya budaya masyarakat Jawa sebelum Islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Pera pengembang ajaran Islam di Pulau Jawa (Walisongo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata dakwah.
Para Wali menyusun ilmu-ilmu Ghaib dengan tata cara lelaku yang lebih Islami, misalnya; puasa, wirid, mantra bahasa campuran Arab-Jawa yang intinya adalah doa kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahasa Arab adalah agar orang Jawa tidak merasa asing sengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal. Bahkan Sunan Kalijaga juga menciptakan satu kidung “Rumeksa Ing Wengi”. Yang menurut saya bisa disebut ilmu gaib atau ilmu supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki berbagai kemampuan supranatural.
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu.yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa, disamping terdapat shalat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa sunah. Intisari dari shalat adalah doa, oleh karena arti harfiah shalat juga doa yang ditujukan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.[10]
Di dalam hidup orang jawa terdapat penuh dengan upacara, baik upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak kelahiran sampai kematian, maupun upacara yang bekaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Secara luas, islam menyebutnya dengan kenduren atau slametan. inti dari upacara ini adalah pembacaan do’a (donga) yang dipimpin oleh seorang Modin, Kaum, Lebe, atau Kiai. Selain itu disajikannya seperangkat makanan yang dibagiakan kepada peserta slametan  untuk dibawa pulang yang disebut dengan berkat.
Menurut Geertz dan Koentjoroningrat mengemukakan, berbagai upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup, antara lain :
1.      Upacara Tingkeban atau Mitoni
    Yaitu ritual pertama dari siklus kelahiran manusia, pada saat janin berusia tujuh bulan dalam rahim ibu. Dalam upacara ini dipersiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wayang Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih supaya si bayi seperti sang Dewa jika laki-laki dan seperti sang Dewi jika perempuan. Kemudian sang ibu dimandikan oleh para ibu-ibu dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga, dan kantil) yang biasa dinamakan tingkeban.
2.      Upacara Kelahiran
    Slametan pertama yang berhubungan dengan lahirnya bayi dinamakanbrongkohan. Dan saat anak diberi nama dan pemotongan rambut (cukur) yang berumur tujuh hari yang disebut sepasar.Dalam tradisi Islam disebut dengan korban aqiqah (kekah) yang ditandai dengan penyembelihan kambing dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan.
3.      Upacara Sunatan
    Upacara sunatan ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Pelaksanaan khitan ini merupakan perwujudan secara nyata tentang hukum Islam. Sunatan ini sering disebut selam (nyelamaken) yang mengandung makna meng-Islamkan.
4.      Upacara Perkawinan
    Upacara ini dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang rumah tangga. Upacara ini ditandai dengan pelaksanaan syari’at Islam yaitu akad nikah (ijab qabul) dan diiringi dengan slametan.Akad nikah ini dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Sedangkan slametan ini dilakukan dengan bertahap dari sebelum akad nikah, akad nikah dan sesudah akad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin).
5.      Upacara Kematian
    Upacara yang dilaksanakan saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada akhirnya menguburkan jenasah ke pesarean (pemakaman). Selama sepekan setelah penguburan diadakan tahlilan tiap malam hari yang dinamakan slametan mitung dino, yaitu kirim do’a kepada si jenasah yang didahului dengan bacaan tasybihtahmidtakbirtahlil dan shalawat pada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana budaya Jawa, slametan ini dilakukan sampai mendaknya orang yang meninggal. Di samping itu juga ada upacara nyadran yaitu upacara ziarah kubur pada waktu menjelang bulan Ramadhan.
IV.   KESIMPULAN
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi berarti hubungan satu sama lainJadi yang dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan. Agama di dalam memainkan perannya dalam masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamanya. Terdiri dari dua kelas penting, yaitu ritual dan ketaatan.Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci dan gaib itu dinamakan kepercayaan.
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu.yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa, disamping terdapat shalat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa sunah.
Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Contoh: Pada suatu masa, manusia pernah meyakini bahwa bumi merupakan pusat tata surya, belakangan disadari bahwa keyakinan itu keliru.
Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap suatu itu benar menurutnya dan belum tentu benar menurut orang lain.
Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis.Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu.
V.      PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Untuk itu saran dan kritik kami butuhkan untuk kedepannya agar lebih baik lagi dan semoga bisa bermanfa’at untuk pembacanya.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. 2000. Yogyakarta: Gama Media.
Endaswara, Suwardi. Agama Jawa, Laku Batin Menuju Sangkan Paran. 2012. Yogyakarta: LEMBU JAYA
Kholil, Ahmad. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. 2008. Malang: UIN Malang Press
Resi, Maharsi. Islam Melayu VS Jawa Islam. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shiddiq, Nourouzzaman. 1996. Jeram-jeram Peradaban Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shodiq. Potret Islam Jawa. 2013 Semarang: Pustaka Zaman.



[1] Nourouzzaman shiddiq, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: 1996) , hlm. 258
[2] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000). Hlm. 120
[3] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 41
[4] Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 43
[5] Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 43
[6] Suwardi Endaswara, Agama Jawa, Laku Batin Menuju Sangkan Paran, (Yogyakarta: LEMBU JAYA, 2012), hlm. 85-86
[7] Ahmad Kholil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press, 2008). Hal. 46-49
[8] http://kbbi.web.id/interelasi (18/04/2016)
[9] Maharsi Resi, Islam Melayu VS Jawa Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 119
[10] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 130

No comments:

Post a Comment