Thursday, December 3, 2015

PEMIKIRAN PENDIDIKAN SYEKH ABDUL QODIR AL-JAILANI

Pemikiran Pendidikan
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Mahfudz Junaidi



Ismi Nur Lailil M.          (1403036075)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2014/2015


I.          PENDAHULUAN
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Syekh Abdul Qodir Al-Jailani merupakan sosok ulama yang berpengaruh dalam dunia tasawuf. Nasihat dan ajarannya selalu menjadi rujukan bagi orang-orang yang mendamba menjadi kekasih Alloh. Tak aneh jika beliau dikenal sebagai dai, guru, pembeharu, dan pemimpin para sufi.[1]

II.       RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana Biografi Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?
B.       Bagaimana Pemikiran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?
C.       Bagaimana Konsep Pendidikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?
D.       Bagaimana Tujuan Pendidikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani,...?

III.    PEMBAHASAN
A.       Biografi Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Syekh Muhiyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Janki Dusat bin Musa ats-Tsani bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Amirul Mu’minin Abu Hasan bin Amirul Mu’minin Ali bin Ali r.a bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Madhar bin Nadzaar bin Ma’ad bin ‘Adann Al-Qurasyi Al-Alawi Al-Hasani Al-Jiili Al-Hambali.[2]
Ibunya Syarifah Fatimah binti Sayid Abdullah Ash-Shuma’i az-Zahid bin Abi Jamaluddin Muhammad bin Sayid Thahir bin Sayid Abi al-Atha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudin Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Ridha bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid al-Husain bin Sayid Ali bin Abi Thalib r.a. [3]
Ibu beliau Fatimah binti Sayid Abdullah meriwayatkan bahwa, “Setelah lahir, anakku Abdul Qodir tidak mau menyusu saat bulan Ramadhan. Oleh karena itu, jika orang-orang tidak dapat melihat hilal penentuan bulan Ramadhan, mereka mendatangiku dan menanyakan hal tersebut kepadaku. Jika aku menjawab; “Hari ini anakku tidak menyusui”, maka orang-orang pun mengerti bahwa bulan Ramadhan telah tiba. “Bahwa beliau bayi yang tidak menyusu pada bulan Ramadhan adalah sesuatu yang masyhur di Jilan. Dan beliau mengandung saat berusia 60 tahun.[4]
Beliau adalah cucu dari Syaikh Abdullah Ash-Shauma’i, pemimpin para zuhaad dan salah seorang syaikh kota Jilan serta yang dianugerahi berbagai karomah. Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa bayinya. Ia tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia di didik dalam lingkungan besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya ruhaniah membuatnya asyik dan hampir lupa akan kewajibannya untuk berumah tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya puteri.[5]
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan fisiknya beliau cenderung tinggi, tampak pada dirinya kemurahan hati dan istiqomah, dahinya lebar, kulitnya berwarna cokelat, rambutnya terurai sampai pundak, anggota tubuhnya harmonis, pandangannya yang tajam, tebal janggutnya sedang namun terurai panjang dan warnanya keabu-abuan, nyaring dan terdengar indah suaranya, memiliki pelafalan yang istimewa. Penampilan umumnya menunjukkan kesederhanaan yang menarik sebagaimana menunjukkan kebaikan, murah hati dan keindahan.[6]
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan kepada para pengikutnya bahwa dia masuk ke Baghdad dalam usia 18 tahun, dan pada tahun yang sama Abu Fadhl Abdul Wahid Al-Tamimi wafat yakni pada 488 H. Bagaimanapun pendapat yang paling shohih tentang kelahiran dan kewafatan Al-Jailani adalah yang diterangkan oleh Ibn Al-Jauzi bahwa Al-Jailani wafat pada malam Sabtu, 8 Rabi’ Al-Tsani tahun 561 H dan usiannya mencapai 90 tahun. Ini karena Ibn Al-Jauzi termasuk seseorang yang semasa dengan Abdul Qodir Al-Jailani.[7]
Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la, Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami. Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun. Satu tahun pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya makan saja, dan di tahun ketiga beliau tidak makan dan tidak minum, hingga dinyatakan lulus belajarnya.[8]
Setelah al-Jailani menamatkan pendidikannya di Baghdad, ia mulai melancarkan dakwahnya. Tepatnya ketika beliau sudah berumur 50 tahun. Abu Said al-Mukhrami menyerahkan pembangunan madrasah kepadanya. Kian hari, murid-muridnya bertambah banyak. Karena itulah, madrasahnya diperluas dan pembangunannya selesai pada tahun 528 H. Di madrasah ini juga, al-Jailani berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mendirikan tarekat yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat Qadiriyyah.[9]

B.       Pemikiran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
                      Pemikiran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya, al-Ghunyah li Tholib al-Thoriq al-Haq mendefinisikan tasawuf sebagai pembenaran (percaya) kepada yang Haq (Allah ) dan berperilaku baik terhadap sesama hamba Allah swt. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa aspek tasawuf bersandar pada dua hal:          
1. Hubungan seorang hamba kepada Sang Kholiq dengan cara bersungguh-sungguh dalam mentaati segala perintah-Nya dan bersungguh-sungguh dalam usaha menjauhi larangan-Nya.                                       
2. Hubungan seorang hamba dengan hamba yang lain dengan cara berperilaku yang baik dan berahlak yang terpuji.[10]
Rasulullah SAW bersabda: “Bergaullah dengan manusia dengan perilaku yang terpuji.”
Selain definisi di atas, beliau dalam kitabnya yang lain menjelaskan bahwa tasawuf adalah: bertakwa kepada Allah swt, mentaati-Nya, menerapkan syariat-Nya secara dhohir, menyelamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefaqiran, menjaga kehormatan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasehati orang kecil dan besar, meniggalkan permu-suhan, bersikap lembut, melaksa-nakan fadlilah, menghindari menyimpan harta benda, menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat dan tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut.[11]
Sesuai dengan firman Allah: 
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)[12]
C.       Konsep Pendidikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Dalam kedua kitab al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq dan Kitab Futuhul Ghaib Kedua kitab tersebut memiliki kekhasan yang sama. Yakni metode integrasi ilmu-ilmu keislaman. Dalam setiap pembahasan fikih misalnya selalu terkait dengan kajian tasawwuf, dan tazkiyat al-nafs. Bahkan al-Ghazali dalam beberapa kajian tentang akhlak, mengaitkan dengan ilmu psikologi dan kesehatan (kedokteran). Kitab al-Ghunyah dimulai dengan makna syahadat, kemudian diikuti dengan bab fikih – thaharah dan shalat dalam satu bab.[13]
Kekhasan kitab tersebut mengandung tujuan metode pembelajaran, bahwa dalam mempelajari ilmu dalam Islam tidak dikenal metode dikotomi. Semua kajian keilmuan dalam tradisi Islam memiliki jaringan keilmuan (knowledge networking) antara satu dengan yang lain. Yang unik juga dari kedua metode ulama’ tersebut, semua ilmu diajarkan selalu berbasisaqa’id dan tasawwuf sunni. Untuk mempraktikkan pemikiran pendidikannya, Syekh Abdul Qadir menerapkan dua metode. [14]
Untuk metode pertama, al-Jilani membangun madrasah yang dinamai Madrasah al-Qadiriyah yang selesai pembangunannya pada tahun 528 H. Tidak jauh dari lokasi Madrash dibangun Ribath – sebuah asrama untuk menampung para pelajar dari luar Baghdad. Ribath ini mirip dengan asrama pondok pesantren di Indonesia. Kurikulum Madrasah Qadiriyah disusun dengan dasar ilmu tasawwuf dan ushuluddin. Sedangkan pelajaran dasar yang diberikan adalah penggabungan antara fikih dan tasawwuf. Tampaknya, Syeikh al-Jilani sejak pendidikan pemula ingin, membentuk mental para ulama’ yang memiliki cara pandang yang sama demi mencegah perpecahan antara para ulama’. Konfrontasi antara madzhab fikih saat itu memang begitu hebat, bahkan sampai pernah terjadi adu fisik. Maka, yang dibutuhkan umat adalah ilmuan-ilmuan yang memiliki kemampuan memahami berbagai disiplin ilmu secara integral, agar secara cerdas mengatasi problem keumatan.[15]
Misi yang kedua adalah, melahirkan da’i yang kompeten melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Pelajaran yang disiapakan untuk kader ulama’ ini adalah ilmu tentang pemikiran-pemikiran kontemporer yang eksis saat itu. Termasuk ideologi-ideologi yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Tema-tema ini beliau kemukakan dalam kitabnya al-Gunyah. Dalam kitab tersebut, Syekh al-Jilani mensyaratkan bagi orang yang akan masuk tariqahnya; “Wajib bagi murid(pengikut tariqah) untuk menjadikan akidah Sunni sebagai ‘sayapnya’ sebagai media dalam bertariqah untuk sampai kepada Allah” (al-Ghunyah II, 163). Pembahasan akidah yang dilakukan Syekh al-Jilani menunjukkan pengetahuannya yang sangat luas tentang seluk-beluk akidah, kegiatan dan sejarah aliran-aliran tersebut. Di antara aliran yang dikritik diantaranya Syi’ah Ghulat dan Batiniyyah. Bahkan beliau berpendapat bahwa Syi’ah Ghulat memiliki kemiripan dengan Yahudi. “Orang Yahudi meyakini tidak ada jihad di jalan Allah sampai al-Masih al-Dajjal keluar dan turun dari langit. Orang-orang Rawafidh meyakini tidak ada jihad sampai al-Mahdi keluar dan terdengar suara menyeru dari langit” tulis Syekh al-Jilani.[16]
Pembahasan tersebut bertujuan menjaga kemurnian akidah Islam, dari berbagai macam ideologi asing. Disamping itu, Syekh al-Jilani juga melarang pelajar mempelajari filsafat Yunani, sebab mengandung banyak kerancuan berpikir. Bermacamnya ideologi asing tersebut mengancam persatuan umat, sehingga memperlemah kekuatan Islam menghadapi perang Salib.Syekh al-Jilani juga berusaha menyudahi perselisihan-perselisihan madzhab fikih yang sering berakhir dengan pertentangan fisik. Imam an-Nawawi dalam Bustan al-‘Arifin mencatat keunikan Syekh al-Jilani. Disebutkan bahwa beliau bersikap terbuka terhadap madzhab Syafi’i dan menjalin kerjasama dengan para pengikut Hambali. Beliau bahkan berfatwa dengan dua madzhab, kepada Syafi’iyyah ia berfatwa dengan madzhab Syafi’i, sedangkan kepada pengikut Hambali beliau berfatwa sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau menguasai hukum-hukum dua madzhab, maka tidaklah heran beliau bisa diterima oleh dua madzhab tersebut.[17]
Praktik pendidikan mental ini diterapkan dalam Ribath di bawah pengawasan sorang Syeikh. Sang guru pembimbing yang ditunjuk Al-Jilani ini mengajari teori sekaligus praktik sehari-hari secara ketat. Sehingga, lulusan madrasah ini betul-betul kuat. Sedikit saja perkara makruh dilakukan, langsung ditegur oleh Syekh. Sebagaimana termaktub dalam kitab al-Gunyah, Al-Jilani mencantumkan beberapa adab ijtima’i di antaranya; etika berpaikaian, etika tidur, makan dan minum, hubungan dengan istri, adab kepada orang tua dan anak, adab bepergian dan sebagainya. Semua etika ini masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Para pelajar selalu dikontrol oleh seorang Syekh dalam mempraktikkan adab.[18]

Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.[19]

D.       Tujuan Pendidikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Tujuan pendidikan al-Jailani adalah menjaga kemurnian agama, mengatasi berbagai macam pertikaian madzhab dan membentuk mental kaum muslim yang faqih, zuhud, dan sekaligus mujahid.Untuk mempraktikkan pemikiran pendidikannya, Syekh Abdul Qadir menerapkan dua metode, pertama, membuat pengajaran yang sistematis dan pendidikan jiwa yang sistematis, kedua, memberi ceramah dan berdakwah kepada masyarakat umum atau muslim awam.[20]
Tujuan besarnya adalah untuk membentuk mental pelajar atau murid-murid yang memiliki hati bersih tanpa noda, senantiasa mengikuti jejak Nabi saw dalam cara berpikir, emosi dan nilainya. Dan juga menekankan pada “Khablum minalloh” dan “Khablum minannas” Pendekatan ini merupakan formulasi Syekh Abdul Qodir Al-Jailani yang   menancapkan pandangan hidup Nabi Muhammad SAW, dalam setiap aktifitas perilaku para pelajar agar menjadi pelajar yang berakhlak mulia.[21]

IV.    PENUTUP

KESIMPULAN
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam. Ia dikenal sebagai penguasa para wali (Shulthan al-Auliya’) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya’). Jamaah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Dan dalam pendidikan dan pemikirannya beliau mengacu dalam kedua kitab al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq dan Kitab Futuhul Ghaib Kedua kitab tersebut memiliki kekhasan yang sama. Yakni metode integrasi ilmu-ilmu keislaman

KATA PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat, semoga dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan dapat memberikan suatu pemahaman kepada pemakalah secara khususnya. Sekian dari saya  apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini atau dalam pemahamannya, dimohon kritik dan saran yang membangun sangat saya butuhkan. Dari saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatian pembaca saya ucapkan terima kasih.




[1] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung: Mizania,2009), hlm. 65
[2] Syaikh Muhammad bin Yahya At-Tadafi, Mahkota Para Aulia, (Jakarta: 2003, Prenada), hlm. 3
[3] Al jailani,  Zaman Kisah Hidup sultan Para Wali, (Jakarta: pustaka) hlm. 15
[4] Syaikh Muhammad bin Yahya At-Tadafi, Mahkota Para Aulia, (Jakarta: 2003, Prenada), hlm. 4
[5] Al jailani.  Zaman Kisah Hidup sultan Para Wali, hlm 17
[6] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung: Mizania,2009), hlm. 121-122
[7] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung: Mizania,2009), hlm. 88
[8] Al Qahthani Said bin Musfir, Buku putih Syaikh Abdul Qodir Al Jailani, (Jakarta: Darul Falah 2003), hlm. 416
[9] Al Qahthani Said bin Musfir, Buku putih Syaikh Abdul Qodir Al Jailani, hlm. 417
[11] Syaikh Muhammad bin Yahya At-Tadafi, Mahkota Para Aulia, (Jakarta: 2003, Prenada), hlm. 13
[12] http://quran.com/
[14] http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/ diakses pada  21 Juni 2015
[15] http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/ diakses pada  21 Juni 2015
[16] http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/ diakses pada 21 Juni 2015 
[17] http://inpasonline.com/new/syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/ diakses pada  21 Juni 2015
[18] http://syeikh-abdul-qadir-al-jailani-dan-pembaharuan-pendidikan-islam/ diakses pada  21 Juni 2015
[20] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung: Mizania,2009), hlm. 95
[21] Abdul Razzaq Al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Bandung: Mizania,2009), hlm. 97

No comments:

Post a Comment