INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM ASPEK KEPERCAYAAN DAN RITUAL
MAKALAH
Di Susun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Islam Budaya Jawa
Dosen
Pengampu: M. Rikza Chamami, MSI
Di
Susun Oleh:
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
Agama adalah sesuatu yang dating dari Tuhan untuk menjadi pedomanbagi
manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan kebahagiaan ukhrowi. Adapun
kebudayaan adalah semua produk aktifitas intelektual manusia untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia. Corak dan warna kebudayaan
dipengaruhi oleh agama, dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat
kebudayaan (dalam hal ini kecerdasan).[1]
Dalam kehidupan beragama kecenderungan untuk memodifikasi Islam dengan
kebudayaan Jawa telah melahirkan bernagai macam produk beru terutama pada hasil
interelasi nilai jawa dan islam pada aspek kepercayaan dan ritual.
Agama, dalam ungkapan Jawa, bagaikan ageman atau pakaian.
Ruh dan ajaran agama menyatu dengan aktifitas social masyarakat. Ekspresi
keberagamaan yang paling mudah dilihat bagi anak-anak adalah aktifitas ritual
seperti sholat, mengaji, dan puasa. Tetapi, setelah dewasa, baru menyadari
bahwa agama dan budaya itu berbeda namun saling mendukung bagaikan hubungan ruh
dan tubuh. Melalui budaya dan tradisi local, ajaran agama di ekspresikan
sehingga muncul apa yang disebut dengan local genius (kegeniusan
local) atau local wisdom (kebijaksanaan local).[2]
II. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
2.
Apa hubungan Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan?
3.
Apa hubungan Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual?
III. PEMBAHASAN
A.
Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Ada
dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan pertama
disebut “Islamisasi Kultur Jawa” dan pendekatan yang kedua disebut “Jawanisasi
Islam”. Berikut penjelasan dari dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di
Jawa.
1. Islamisasi
Kultur Jawa
Islamisasi
kultur Jawa adalah proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik
secara formal maupun sub stansial. Sebagai contoh adalah slametan, slametan
berasal dari Bahasa Arab Salim-yaslamu-salaman
yang berarti selamat. Menurut Quraish Shihab kata salam berarti luput dari
kekurangan, kerakusan, dan aib. Kata selamat di ucapkan, misalnya jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan
pada kekurangan atau kecelakaan. Menurut kami penggunaan bahasa salima tersebut dalam istilah ritual jawa merupakan
salah satu hasil dari Islamisasi kultur Jawa.[3]
Dalam banyak
literatur, hal-hal yang dibahas mengenai Islamisasi di Jawa adalah tiga
pertanyaan, yaitu; Siapa para pembawa Islam? Dari mana mereka berasal? Dan
kapan mereka datang?.
Tentang siapa
para pembawa Islam dan dari mana Islam datang, banyak buku menyebutkan bahwa
para pedagang dan Gujaratlah yang membawa Agama Islam. Sedangkan mengenai kapan
Islam masuk ke Jawa hamper semua sejarawan sepakat bahwa abad XV-VXII adalah
rentang waktu paling ekstensif dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Secara
politik De Graaf dan Pigeaud menyebut abad-abad itu sebagai masa “transisi
kekuasaan” dari kekuasaan kerajaan Hindu ke kerajaan Islam.
Kehadiran Islam
di Jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya dalam
perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa) melahirkan sikap bahwa
kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang baru untuk menggantikan yang lama tetapi
menambahkan sesuatu kepada yang lama, sehingga Islam dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat.
2. Jawanisasi
Islam
Jawanisasi Islam
adalah pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam[4].
Sebagai contoh dalam tembang Jawa sebagai berikut;
“Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh wikan
Kabatinan akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno ojo keliru
pamilihmu Lamun mardi Kebatinan”.
Yang artinya;
“Saya akhiri
pembicaraan ini saya hanya ingin memberitahu Kebatinan banyak macamnya dan
artinya sangat gawat. Maka dari itu, barhati-hatilah jangan kamu salah pilih
kalau belajar Kebatinan”
Jika
diperhatikan arti dari tembang ini adalah pesan orang tua kepada anaknya bahwa
perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah mendapatkan ilmu sejati
untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara
kawula dan Gusti (jumbuhing kawula Gusti/) atau pendekatan kepada yang
Mahakuasa secara total dan sebenarnya dalam Islam-pun konsep ini diajarkan,
yaitu tentang anjuran mempelajari ilmu tauhid.[5]
Menurut Sujatmo
dalam buku karya Suwardi Endraswara, jumbuhing kawula kalawan gusti bukanlah
suatu ajaran, tetapi suatu penganan. Suatu pengalaman yang benar-benar nyata
bagi siapa yang pernah mengalaminya. Pengalaman ini berupa penyatuan diri dengan
yang maha kuasa. Ada pula istilah lain sebagai pengganti penyatuan, yaitu
peleburan. Dalam pemikiran Jawa selain jumbuhing kawula kalawan gusti, ada juga
yang menyebutnya manunggaling kawula-gusti, maunggaling kawula kalawan gusti,
pamoring kawula Gusti.
Melalui olah
rasa, orang Jawa meyakini dapat manunggal dengan Gusti, hingga mengenal tuhan
secara utuh. Pemikiran Jawa tentang tuhan dan tentang pengalaman manunggal
dengan tuhan dapat diikuti dengan jelas. Menurut serat Dewaruci, tuhan itu dan
kena kinangnyapa, tak dapat dilihat, tak berbentuk, tak berwarna tak dapat
dipegang, hanya terletak pada yang awas, tetapi perlambanganya memenuhi alam
semesta.[6]
Meski kedua pendekatan ini sering digunakan dalam menyatukan dua
kebudayaan, namun juga sering terjadi beda pemahaman penilaian terhadap kedua
pendekatan ini. Sebagian orang menilai kedua pendekatan ini hanya sebatas
percampuran dua budaya yang bersifat lahiriyah, sehingga Islam seakan menjadi
kulitnya sedangkan nilai-nilai esensialnya adalah Jawa.
Para pengamat dan peniliti
telah membuktikan bahwa orang Jawa memang memiliki kepercayaan yang beragam dan
campur aduk. Praktik keagamaan orang Islam banyak dipengaruhi oleh keyakinan
lama: Animisme, Hindu, Budha, kepercayaan
kepada alam maupun Dinamisme. Demikian juga menurut agama lain, seperti
Katolik, terlebih dalam doktrin Katolik dikenal “kontekstualisasi” yaitu
semacam pempribumian ajaran-ajaran Katolik sesuai dengan konteks social budaya
dimana ia disebarkan. Oleh karena itu, dalam masyarakat masih ditentukan
orang-orang yang berpedoman pada primbon dan petangan dalam
melakukan aktifitas tertentu.
Menurut Professor Veth,
penganut Islam yang merupakan golongan terbesar di Pulau Jawa tidak seluruhnya
memeluk agama ini secara murni. Veth mengklasifikasikan penganut Islam dalm
empat kelompok: (1) penganut Islam yang masih memegang campuran kepercayaan
Brahma dan Budha, (2) penganut Islam yang mempunyai kepercayaan magic dan
dualism, (3) penganut Islam yang mempunyai animisme, (4) penganut Islam yang
melaksanakan ajaran Islam secara murni. Oleh Veth, tiga kelompok yang pertama
diklasifikasikan dalam penganut kejawen, dan sampai saat ini ajaran kejawen
masih banyak dianut oleh orang muslim di Jawa.[7]
B.
Interelasi antara Budaya Jawa dan Islam
dalam Aspek Kepercayaan
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia[8],
Interelasi berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang
dimaksud interelasi di sini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau
kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan. Agama di dalam
memainkan perannya dalam masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan,
praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan,
mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agamanya. Terdiri dari dua kelas penting, yaitu
ritual dan ketaatan. Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci dan gaib itu
dinamakan kepercayaan.
Sebelum
Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada
ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci,
orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum
karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Disamping itu juga ada yang
bersumber pada ajaran Budha yang ditandai dengan adanya percaya pada
Tuhan (Sang Hyang Adi Budha), selain itu juga ada kepercayaan animisme dan
dinamisme. Setelah kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam
dengan Jawa yang salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan dengan dan
ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada dasarnya interelasi ini ditempuh
dengan jalan penyerapan secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan
dilafalkan Islam berbahasa arab menjadi fenomena Jawa. Dalam
kisah Babad Tanah Jawi ditemukan elemen-elemen yang
menghubungkan Islan dengan Budaya Jawa sebelumnya. Dalam kisah Babad
Tanah Jawi hubungan-hubungan tersebut sudah dijalin sejak zaman
para dewa, sehingga hubungan antara Islam dan Jawa tidak dapat dipisahkan
dengan keyakinan orang jawa.[9]
Ketika
Islam masuk ke Jawa ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, pada waktu itu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam
keadaan mundur. Dalam bidang politik antara lain di tandai dengan jatuhnya
Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M, dan tersingkirnya Dinasti
Al-Ahmar di Andalusia (Spanyol) oleh tentara Arogan dan Castella pada 1492 M.
Di bidang pemikiran kalau pada masa-masa sebelumnya telah muncul ulama-ulama
besar di bidang hukum, teologi, filsafat, tasawuf, dan sains, pada masa ini
pemikiran-pemikiran tersebut telah mengalami kemunduran. Pada masa ini telah
semakin berkembang pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan
kelompok-kelompok tarekat sesat semakin berkembang di kalangan umat Islam.
Kedua, sebelum
kedatangan Islam di Jawa, Hindu, Budha dan Kepercayaan Asli yang berdasarkan
Animisme dan Dinamisme berurut akar di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena
itu, dengan datangnya Islam terjadi pergumbulan antara Islam di satu pihak,
dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya
muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama, yang menerima Islam secara
total dengan tanpa mengingat kepercayaan-kepercayaan lama. Kedua, mereka yang
menerima ajaran Islam tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama. Oleh
karena itu, mereka mencampur adukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam
dengan kepercayaan-kepercayaan lama.
Seorang
sejawan bernama Greetz mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kategori sebagai
berikut;
1. Santri,
yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat
Islam. Mengerjakan segala kewajiban dan meninggalkan segala laranganNya.
2. Abangan,
yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namun kurang memegang teguh
syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak menjalankan
perintah Allah dan masih menjalankan laranganNya.
3. Priyayi,
yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan.
Mereka menempati posisi yang di muliakan baik oleh kalangan santri maupun
abangan, terlepas dari sikap dan cara keberagamaan mereka.
Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap
kebudayaan dan kepercayaan setempat, di satu sisi memang dianggap membawa
dampak negative, yaitu sinkretisasi dan pencampur adukkan antara Islam di satu
sisi dan dengan kepercayaan-kepercayaan lama di pihak lain, sehingga sulit di
bedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan
mana yang berasal dari tradisi. Namun, aspek positifnya ajaran-ajaran
yang di sinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat
Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Dan sebaliknya,
ajaran-ajaran tersebut telah memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal
dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam
mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.
C.
Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam
dalam Aspek Ritual
Dalam
khasanah perkembangan Islam di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu;
“aliran hikmah” dan “aliran kejawen”. Aliran hikmah berembang di kalangan
pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan
bersumber dari Al-Qur’an). Sedangkan aliran kejawen yang ada sekarang
sebetulnya sudah bercampur dengan tradisi Islam.
Aliran
Islam Kejawen awal mulanya budaya masyarakat Jawa sebelum Islam datang yang
memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan
kemampuan supranatural. Pera pengembang ajaran Islam di Pulau Jawa (Walisongo)
tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata
dakwah.
Para
Wali menyusun ilmu-ilmu Ghaib dengan tata cara lelaku yang lebih Islami,
misalnya; puasa, wirid, mantra bahasa campuran Arab-Jawa yang intinya adalah
doa kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya
berbahasa Arab adalah agar orang Jawa tidak merasa asing sengan ajaran-ajaran
yang baru mereka kenal. Bahkan Sunan Kalijaga juga menciptakan satu kidung
“Rumeksa Ing Wengi”. Yang menurut saya bisa disebut ilmu gaib atau ilmu
supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki
berbagai kemampuan supranatural.
Agama Islam
mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik
tertentu.yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai
bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat,
shalat, puasa, zakat, dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa, disamping
terdapat shalat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan ramadhan, terdapat
pula shalat-shalat dan puasa sunah. Intisari dari shalat adalah doa, oleh
karena arti harfiah shalat juga doa yang ditujukan kepada Allah SWT, sedangkan
puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian
rohani.Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai
berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.[10]
Di dalam
hidup orang jawa terdapat penuh dengan upacara, baik upacara yang berkaitan
dengan lingkaran hidup manusia sejak kelahiran sampai kematian, maupun upacara
yang bekaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Secara luas, islam
menyebutnya dengan kenduren atau slametan. inti dari upacara ini adalah
pembacaan do’a (donga) yang dipimpin
oleh seorang Modin, Kaum, Lebe, atau
Kiai. Selain itu disajikannya seperangkat makanan yang dibagiakan kepada
peserta slametan untuk dibawa pulang yang disebut dengan berkat.
Menurut
Geertz dan Koentjoroningrat mengemukakan, berbagai upacara yang berkaitan
dengan lingkaran hidup, antara lain :
1.
Upacara Tingkeban atau Mitoni
Yaitu ritual pertama dari siklus kelahiran
manusia, pada saat janin berusia tujuh bulan dalam rahim ibu. Dalam upacara ini
dipersiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wayang Dewa Kamajaya dan Dewi
Kamaratih supaya si bayi seperti sang Dewa jika laki-laki dan seperti sang Dewi
jika perempuan. Kemudian sang ibu dimandikan oleh para ibu-ibu dengan air
kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga, dan kantil) yang
biasa dinamakan tingkeban.
2.
Upacara Kelahiran
Slametan pertama yang berhubungan dengan
lahirnya bayi dinamakanbrongkohan. Dan saat anak diberi nama dan
pemotongan rambut (cukur) yang berumur tujuh hari yang disebut sepasar.Dalam
tradisi Islam disebut dengan korban aqiqah (kekah) yang ditandai dengan
penyembelihan kambing dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak
perempuan.
3.
Upacara Sunatan
Upacara sunatan ini dilakukan pada saat anak
laki-laki dikhitan. Pelaksanaan khitan ini merupakan perwujudan secara nyata
tentang hukum Islam. Sunatan ini sering disebut selam (nyelamaken) yang
mengandung makna meng-Islamkan.
4.
Upacara Perkawinan
Upacara ini dilakukan pada saat pasangan
muda-mudi akan memasuki jenjang rumah tangga. Upacara ini ditandai dengan
pelaksanaan syari’at Islam yaitu akad nikah (ijab qabul) dan diiringi
dengan slametan.Akad nikah ini dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan
pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Sedangkan
slametan ini dilakukan dengan bertahap dari sebelum akad nikah, akad nikah dan
sesudah akad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin).
5. Upacara
Kematian
Upacara yang dilaksanakan saat mempersiapkan
penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati,
dan pada akhirnya menguburkan jenasah ke pesarean (pemakaman).
Selama sepekan setelah penguburan diadakan tahlilan tiap malam hari yang
dinamakan slametan mitung dino, yaitu kirim do’a kepada si jenasah
yang didahului dengan bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil dan
shalawat pada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana budaya Jawa, slametan ini
dilakukan sampai mendaknya orang yang meninggal. Di samping itu juga ada
upacara nyadran yaitu upacara ziarah kubur pada waktu menjelang bulan Ramadhan.
IV. KESIMPULAN
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang
dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau
kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan. Agama di dalam
memainkan perannya dalam masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan,
praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan,
mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agamanya. Terdiri dari dua kelas penting, yaitu
ritual dan ketaatan.Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci dan gaib itu
dinamakan kepercayaan.
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan
ritualistik tertentu.yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik adalah meliputi
berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni
syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa,
disamping terdapat shalat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan ramadhan,
terdapat pula shalat-shalat dan puasa sunah.
Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa
cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena
keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar
atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Contoh: Pada suatu masa,
manusia pernah meyakini bahwa bumi merupakan pusat tata surya, belakangan
disadari bahwa keyakinan itu keliru.
Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap
suatu itu benar menurutnya dan belum tentu benar menurut orang lain.
Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan
simbolis.Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan
tradisi dari suatu komunitas tertentu.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat,
kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Untuk
itu saran dan kritik kami butuhkan untuk kedepannya agar lebih baik lagi dan
semoga bisa bermanfa’at untuk pembacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, M. Darori. Islam dan
Kebudayaan Jawa. 2000. Yogyakarta: Gama Media.
Endaswara,
Suwardi. Agama Jawa, Laku Batin Menuju Sangkan Paran. 2012. Yogyakarta:
LEMBU JAYA
Kholil, Ahmad. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. 2008. Malang: UIN Malang Press
Resi, Maharsi. Islam Melayu
VS Jawa Islam. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shiddiq, Nourouzzaman. 1996. Jeram-jeram
Peradaban Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shodiq. Potret Islam Jawa. 2013 Semarang: Pustaka Zaman.
http://kbbi.web.id/interelasi (18/04/2016)
[1] Nourouzzaman shiddiq, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta:
1996) , hlm. 258
[2] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2000). Hlm. 120
[3] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang:
Pustaka Zaman, 2013), hlm. 41
[4] Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 43
[5] Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 43
[6] Suwardi Endaswara, Agama
Jawa, Laku Batin Menuju Sangkan Paran, (Yogyakarta: LEMBU JAYA, 2012), hlm.
85-86
[7] Ahmad Kholil, Islam Jawa,
Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press, 2008).
Hal. 46-49
[8]
http://kbbi.web.id/interelasi (18/04/2016)
[9] Maharsi Resi, Islam Melayu VS Jawa Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 119
[10] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm.
130
No comments:
Post a Comment